Mengenal Beda Resesi dan Depresi Ekonomi

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyatakan Indonesia terancam depresi jika persoalan pandemi virus corona tak segera selesai. Depresi ekonomi ini akan lebih parah dari resesi.

Dalam ilmu ekonomi, suatu negara disebut resesi apabila ekonominya terkontraksi atau minus dalam dua kuartal berturut-turut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan perhitungan resesi merujuk pada pertumbuhan ekonomi secara tahunan, bukan kuartalan. Artinya, kalau ekonomi suatu negara minus dalam dua kuartal berturut-turut secara kuartalan belum bisa disebut resesi.

Beda halnya jika ekonomi satu negara sudah minus dalam dua kuartal berturut-turut secara tahunan, maka negara itu sudah bisa disebut masuk ke jurang resesi.

Sebagai gambaran, ekonomi Indonesia tercatat minus secara tahunan sebesar 5,32 persen pada kuartal II 2020. Realisasi ini menjadi yang pertama sejak kuartal I 1999.

Namun, kalau dilihat secara kuartalan, Indonesia sudah minus sejak kuartal IV 2019 hingga kuartal II 2020.

Tercatat, ekonomi Indonesia minus 1,74 persen pada kuartal IV 2019. Kemudian, ekonomi kembali minus 2,41 persen pada kuartal I 2020 dan minus 4,19 persen pada kuartal II 2020.

Kalau merujuk pada pengertian yang ada, artinya Indonesia belum resesi meski secara kuartalan sudah terkontraksi sejak akhir 2019 lalu.

 

Lantas, apa bedanya dengan depresi?

Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan suatu negara disebut depresi apabila ekonominya minus selama dua tahun berturut-turut. Dengan demikian, Indonesia mungkin saja depresi jika ekonominya tak berbalik positif hingga kuartal II 2022 mendatang.

Bhima menyatakan Indonesia memiliki peluang depresi jika pemerintah tak memiliki ancang-ancang atau skenario yang matang dalam menangani dampak pandemi virus corona di dalam negeri. Pengendalian ini bukan hanya dari sisi ekonomi saja, tapi juga penularan virus corona itu sendiri.

"Penanganan harus benar. Harus paralel penanganan virus corona dan pemulihan ekonomi," tutur Bhima.

Bila depresi ekonomi terjadi, maka dampaknya akan semakin parah ketimbang resesi. Bhima bilang resesi saja bisa membuat perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran karena ekonomi tak bergerak.

PHK itu akan menambah pengangguran di suatu negara. Dengan demikian, jumlah orang miskin akan bertambah.

Daya beli masyarakat pun akan semakin melemah. Alhasil, pemerintah perlu ongkos lebih besar lagi untuk memperbaiki perekonomian.

Bisa dikatakan, situasinya akan semakin parah jika suatu negara benar-benar depresi. Jumlah pegawai yang terkena PHK dan jumlah orang miskin akan lebih melonjak dibandingkan kalau negara hanya resesi.

"Kalau depresi akan terjadi penutupan usaha di semua sektor mulai dari UMKM sampai perusahaan besar itu bisa bangkrut. Jadi PHK massal," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com, Jumat (7/8).

Alhasil, daya beli semakin lemah dan terjadi deflasi. Saat deflasi terjadi, harga barang akan jatuh alias murah.

"Kalau deflasi menguntungkan orang yang punya uang karena harga murah," ucap Bhima.

Kendati begitu, deflasi akan menyengsarakan rakyat kecil. Bhima mencontohkan, UMKM tak lagi bisa menjual barangnya dengan harga tinggi.

Dengan demikian, keuntungan yang didapat akan semakin kecil. Jika begitu, penghasilan yang dikantongi akan jauh lebih minim dari sebelum-sebelumnya.

"Jadi efeknya banyak sekali kalau perusahaan bangkrut, deflasi, PHK massal. Jumlah orang miskin lebih banyak dari resesi, penambahannya bisa dua kali lipat dibandingkan resesi," pungkas Bhima.

(Source: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200807083348-532-533099/mengenal-beda-resesi-dan-depresi-ekonomi)