Sebanyak 20 ribu warteg di Jabodetabek terancam tutup pada tahun ini, karena pemilik usaha tidak mampu membayar perpanjangan sewa tempat usaha.
Ketua Komunitas Warteg Indonesia (Kowantara) Mukroni menuturkan bahwa pemilik usaha warteg tak memiliki modal usaha, akibat tekanan ekonomi di tengah pandemi covid-19.
Harap maklum, omzet warteg di era corona merosot hingga 90 persen. Dari rata-rata omzet Rp2 juta-Rp10 juta per hari atau Rp60 juta-Rp300 juta per bulan, kini pemilik warteg hanya bisa mengantongi Rp200 ribu-Rp1 juta per hari atawa Rp6 juta-Rp30 juta per bulan.
"Modal sekarang sudah pas-pasan. Untuk bayar karyawan berat, apalagi untuk bayar sewa. Harapan ke depan tidak jelas, jadi tutuplah," imbuh Mukroni kepada CNNIndonesia.com, dikutip Kamis (14/1).
Ia melanjutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan omzet pengusaha warteg turun. Pertama, daya beli masyarakat melemah akibat pandemi covd-19.
Kedua, penerapan PSBB di DKI Jakarta dan dilanjut dengan PPKM di Jawa dan Bali demi meminimalisir penularan covid-19. Ketiga, kenaikan harga pangan.
Di tengah situasi yang serba sulit ini, pengusaha warteg harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk bayar sewa tempat. Misalnya, biaya sewa di pinggiran Jakarta sebesar Rp25 juta-Rp50 juta per tahun dan di pusat kota mencapai Rp50 juta-Rp200 juta per tahun.
Nahasnya lagi, pengusaha warteg kesulitan meminjam dana di perbankan dengan bunga rendah. Sementara, bantuan yang diharapkan dari pemerintah untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tak kunjung datang.
"Kemarin, kami mengajukan program kredit usaha rakyat (KUR) 20 orang, yang disetujui dua orang, sangat minim. Stimulus modal dari pemerintah tidak terasa," jelas Mukroni.
Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi menilai persoalan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tapi juga daerah. Artinya, jangan hanya pemerintah pusat yang berpikir untuk membantu pemilik usaha warteg.
"Warteg banyak di kota-kota besar. Harapannya tidak hanya pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah bantu," kata Fithra.
Terlebih, pemerintah daerah biasanya lebih paham bagaimana kondisi di kawasan setempat dan apa yang dibutuhkan oleh warga di wilayahnya. Dengan demikian, pemerintah daerah bisa merumuskan stimulus yang tepat untuk wilayah setempat.
"Yang harus lebih aktif ini sebenarnya pemerintah daerah," imbuh Fithra.
Senada, Ekonom Indef Eko Listyanto mengatakan pemerintah daerah harus punya anggaran sendiri untuk membantu pemilik usaha warteg. Salah satunya, DKI Jakarta.
"Pemerintah harus memberikan perhatian terutama di pusat, misalnya Jakarta yang banyak warteg. DKI harus punya anggaran untuk bisa bantu mereka. Keterlibatan daerah harus ada," kata Eko.
Ia menilai bisnis warteg perlu diselamatkan, mengingat perputaran uang dari kegiatan bisnis ini cukup besar.
Sebagai gambaran, pengusaha warteg dapat meraup omzet sampai Rp300 juta per bulan. Jika 20 ribu warteg tutup, maka potensi dana yang menguap mencapai Rp6 triliun per bulan.
Itu baru di Jabodetabek, belum termasuk kawasan lain. Perputaran uang dari kegiatan bisnis warteg jelas akan mempengaruhi perekonomian daerah setempat. Maka, tak ada alasan bagi pemerintah daerah diam saja melihat kegelisahan pengusaha warteg.
"Keterlibatan daerah harus ada. Warteg bantu masyarakat kelas tertentu, karena harganya yang murah. Dalam konteks ini, karena lagi bermasalah, maka harus ada upaya kebijakan mengatasi ini," kata Eko.
Perluas Penyaluran PEN
Selain itu, Eko menyarankan pemerintah pusat perlu memperluas penyaluran bantuan lewat program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dalam program PEN, pemerintah memberikan bantuan kepada sejumlah pihak, salah satunya UMKM.
Dalam program PEN 2021, alokasi dana yang disiapkan sebesar Rp403,9 triliun. Dana itu disalurkan ke beberapa klaster.
Rinciannya, untuk klaster kesehatan sebesar Rp25,4 triliun, perlindungan sosial Rp110,2 triliun.
Kemudian, sektoral k/l dan pemerintah daerah (pemda) Rp184,2 triliun, dukungan UMKM dan pembiayaan korporasi Rp63,84 triliun, serta insentif usaha Rp20,26 triliun.
Salah satu bantuan di klaster UMKM adalah dengan menyalurkan bantuan presiden (banpres) sebesar Rp2,4 juta untuk usaha mikro. Di sini, ia menyarankan pemerintah memperluas bantuan banpres tersebut untuk usaha warteg.
"Jadi bukan hanya usaha kecil atau skala mikro, tapi mungkin bisa ke warteg-warteg yang mau tutup itu," terang Eko.
Menurutnya, pemerintah bisa saja merealokasi dana dari klaster lain untuk klaster UMKM demi membantu pengusaha warteg yang terancam tutup. Namun, tentu hal ini harus dilakukan secara hati-hati agar bantuan ke seluruh klaster tetap seimbang.
"Mungkin sebagian ada yang besar, tapi sebagian ada yang minim. Kalau ada penyerapan yang rendah misalnya bantuan untuk korporasi, bisa direalokasi untuk UMKM," ujar Eko.
Ia meminta pemerintah tak tinggal diam melihat potensi penutupan 20 ribu warteg di Jabodetabek. Pasalnya, pemulihan ekonomi akan bergantung dari UMKM.
"Ketika UMKM pulih, maka akan menambah tenaga kerja. Kalau yang beli di warteg bertambah, otomatis mereka butuh tenaga kerja baru dan bagus untuk ekonomi," terang Eko.
Sementara, korporasi tak bisa begitu saja menambah jumlah tenaga kerja. Perusahaan harus memastikan kondisi keuangannya sudah kembali stabil sebelum menambah jumlah karyawan.
"Jadi masih lama pemulihan untuk usaha besar. Pemulihan ekonomi berjalan dari skala UMKM dulu," tutup Eko.