Seberapa Kuat Sinar Matahari Lemahkan Virus COVID-19?

Print

Kabar mengenai sinar matahari bisa melumpuhkan virus COVID-19 atau SARS-CoV-2 sempat menuai pro kontra antara teori dan praktik. Sebenarnya sejauh mana pengaruh sinar matahari tersebut dalam melemahkan virus?

Para ahli dari jurusan teknik UC Santa Barbara mencoba membuktikan kebenarannya. Paulo Luzzato-Fegiz, anggota tim ahli mengatakan, “Teori mengasumsikan bahwa pelemahan virus diakibatkan sinar ultra violet (UV) yang menghancurkan RNA virus.”

Namun, ada pandangan berbeda yang menafsirkan, yang terjadi bahkan lebih dari itu, dan bisa menjadi cara untuk menangani ancaman virus.

Sinar UV merupakan bagian dari spektrum matahari, dan mudah diserap oleh asam nukleat yang ada dalam DNA dan RNA. Dampak dari paparannya menyebabkan mereka (DNA dan RNA) jadi terikat dan sulit untuk diperbaiki kerusakannya.

Tetapi tak semua sinar UV itu sama. Mengutip sciencealert,  gelombang UV yang lebih panjang, disebut UVA, tidak punya energi untuk bisa berdampak langsung seperti itu. Dalam panjang gelombang UV yang menengah, sinar matahari adalah penyebab utama terbunuhnya mikroba dan memicu risiko kerusakkan akibat sinar matahari pada obyek yang terpapar.

Sementara radiasi gelombang UV pendek sangat efektif melawan virus COVID-19, meskipun tersembunyi dalam cairan manusia.  

Namun tipe UV ini biasanya tidak berkontak langsung dengan permukaan bumi, karena terhambat lapisan ozon.

Pada Juli 2020, sebuah riset eksperimen mengujicoba dampat sinar UV terhadap COVID-19 dalam saliva (air liur). Eksperimen tersebut mencatat, virus menjadi lemah saat terekspos oleh sinar matahari dalam waktu 10 – 20 menit.  

Luzzato-Feigiz dan anggota tim lain membandingkan hasil studi tersebut dengan teori soal sinar UV. Riset lalu mengungkap bahwa virus COVID-19 tiga kali lebih sensitif terhadap sinar UV dibandingkan viru influenza tipe A. Lebih kurang 90% partikel virus corona dilemahkan dalam waktu setengah jam usai terekspos sinar matahari siang di musim panas.  

Sebagai perbandingan, di musim dingin sinar demikian perlu waktu berhari-hari untuk melemahkan virus.

Kalkulasi alamiah yang dilakukan sejumlah periset yang terpisah menyimpulkan, molekul RNA virus rusak secara fotokimia yang disebabkan paparan sinar secara langsung.

Dampak sinar ini sangat kuat pada gelombang UV pendek, seperti UVC dan UVB. UVC memang tidak mencapai permukaan bumi, kesimpulan para ahli hanya berdasarkan kalkulasi paparan cahaya alami dari gelombang ultraviolet menengah yaitu UVB sebagai bagian dari spektrum UV.

“Eksperimen ini mengobservasi pelemahan dalam saliva yang terstimulasi di mana delapan kali lebih cepat daripada yang diungkap oleh teori,” kata Luzzato-Feigiz dan rekannya.  

Para periset menduga, alih-alih mempengaruhi RNA virus secara langsung, gelombang UV yang panjang atau UVA kemungkinan berinteraksi dengan molekul (saliva yang terstimulasi) dalam tes, yang mempercepat pelamahan virus.

Hal yang sama terlihat dalam pengolahan air limbah, di mana UVA bereaksi dengan elemen lain untuk membentuk molekul yang merusak virus.

Jika UVA dapat dimanfaatkan untuk melawan virus COVID-19, penanganan oleh sumber gelombang cahaya yang murah, efisien, dapat berguna untuk ditambahkan ke dalam sistem filtrasi udara yang beresiko rendah terhadap ancaman kesehatan manusia.

“Hasil analisis kami masih membutuhkan tambahan eksperimen lain untuk melihat dampak tes secara terpisah pada gelombang khusus cahaya dan komposisi yang berbeda,” jelas Luzzato-Fegiz.

Berdasarkan kemampuan virus COVID-19 yang mampu bertahan di udara, cara paling aman adalah menghindari wilayah yang terpapar, dan mengedepankan jarak dalam berinteraksi sosial serta menggunakan masker. Namun juga, sangat melegakan untuk mengetahui sinar matahari dapat membantu kita menghadapi virus selama musim panas.  

(Source: https://majalahcsr.id/seberapa-kuat-sinar-matahari-lemahkan-virus-covid-19/)