Inilah 67 Negara yang Ramah Satwa dan Sebaliknya

Manusia sejak lahir sudah dibekali hak (dan kewajiban), tetapi bagaimana dengan hewan? Setiap negara dan peraturannya bisa mendorong hewan sebagai teman, pendamping  manusia, atau bahkan menu sajian semata di atas meja makan. 

Matthew Nash, peneliti dan pendiri website The Swiftest, menggali lebih dalam soal hak satwa melalui survey terhadap 67 negara. Puluhan negara ini disusun peringkatnya dari yang terbaik sampai terburuk dalam penanganan hak dan kesejahteraan hewan.

“Saya selalu tertarik dengan isu hak-hak satwa,” katanya. “Saya meyakini satwa juga mahluk seperti manusia (yang memiliki hak yang sama). Sebagai pemilik hewan peliharaan, saya mempunyai keterikatan yang dalam dengannya, sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh pemiliknya. Melaluii fakta ini, lalu keingintahuan dan ketertarikan pada hukum hak satwa internasional, mendorong saya melakukan riset ini secara mendalam.” 

Nash juga berkeinginan melihat lebih jauh hewan peliharaan seperti kucing dan anjing dalam spectrum satwa yang meluas, serta soal peternakan dan kehidupan satwa liar. Terdapat sembilan poin faktor yang ia jelaskan untuk menyusun indeks hak satwa. Bobot faktor yang lebih besar diberikan pada pemahaman satwa sebagai mahluk hidup, lalu mengenali penderitaan satwa, hukum kekerasan pada satwa, serta larangan industri ternak untuk kulit dan bulu hewan.  

Bobot faktor lainnya yang lebih ringan pada deklarasi global soal kesejahteraan satwa, konsumsi daging per kapita, persentase area terlindungi, pemakaian pestisida per hektar di area pertanian, dan indeks skor kinerja lingkungan.  

Siapa pemenangnya?

Luxembourg ditasbihkan sebagai negara terbaik untuk kehidupan satwa. Negara kecil di barat laut benua Eropa, berbatasan dengan Belgia, Perancis, dan Jerman  ini meraih skor 519,68 dalam indeks hak satwa versi Swiftest. Negara ini hanya buruk pada konsumsi daging yang dianggap warganya terlalu banyak  mengonsumsi ham dan sosis.

Negara lainnya adalah Inggris, Austria, Ceko, dan Belgia di posisi 5 besar. Semua negara tersebut dianggap memenuhi ketentuan dari faktor-faktor yang ada pada indeks. Namun diantaranya masih ada yang konsumsi dagingnya di atas rata-rata, wilayah untuk perlindungan hewannya kurang, dan/atau persentase penggunaan pestisida di lahan pertaniannya masih tinggi. Menariknya, negara-negara di Eropa  mendominasi peringkat terbaik hingga posisi 25, kecuali Selandia Baru yang muncul di peringkat 18.

Nash merasa optimis dengan perbaikan kondisi kehidupan satwa. “Lebih dari dua puluh tahun, banyak negara mulai menyadari keteraniayaan satwa, dan tidak menganggapnya sebagai barang semata yang dimiliki,” ucapnya. “Banyak negara mulai menerapkan hukum kesejahteraan satwa. Kita memang masih perlu waktu yang panjang (untuk perlindungan hak hewan), namun secara perlahan sedang bergerak ke arah sana.”

Negara terburuk dalam penanganan satwa

China dianggap sebagai negara paling buruk dalam memperlakukan satwa atau di posisi juru kunci (67) dan hanya meraih skor 12.46. Negara ini dinilai masih menjual hewan konsumsi seperti katak dengan mengulitinya hidup-hidup. Negara tirai bambu juga disebut sangat kurang mengembangkan studi yang terkait dalam 9 faktor yang menjadi acuan penilaian indeks ini. Satu-satunya yang nilainya cukup bagus adalah konsumsi daging per kapita yang lumayan rendah.

Negara terburuk lainnya adalah Vietnam dengan nilai 45,24 (peringkat 66), Iran 71,4 (65), Azerbaijan meraih 73,7 (64),  dan Belarusia 105,65 (63). Belarusia setidaknya, menurut keterangan yang disampaikan, akan menerapkan larangan pada industri kulit dan bulu hewan. Nash mengaku terkejut oleh kurangnya kondisi perlindungan terhadap satwa di sejumlah negara. “Sepuluh negara peringkat terendah dalam risetku punya hukum yang lemah dalam hak satwa, beberapa di antaranya bahkan tak ada.”

Bagaimana dengan negara kita, Indonesia? Pada peringkat indeks, Indonesia menempati posisi 36 dengan nilai capaian 354,32. Indonesia dianggap masih belum punya aturan pelarangan terhadap industri kulit dan bulu binatang. Namun demikian, peringkat negara kita masih jauh lebih baik dibandingkan negara tetangga Malaysia (46), dan Vietnam (66). Sementara negara ASEAN lain tak terlihat dalam indeks. Peringkat Indonesia yang memiliki keseluruhan nilai C+ bahkan lebih baik dari negara adidaya AS (40), dan hanya kalah oleh Jepang (35) dan satu peringkat di atas India (37).

Indeks hak satwa versi The Swiftest lebih jauh dari soal kepemilikkan kucing dan anjing di rumah. Nash mengatakan, studi ia selanjutnya adalah soal anjing yang disebutnya “Negara Terbaik dan Terburuk untuk Anjing.” Meskipun AS dianggap kurang baik pada indeks hak dan penanganan satwa secara keseluruhan, namun Nash mengakui negara tersebut sangat ramah pada anjing.