Pada 12 November 2021, sebuah laporan baru berjudul “Beyond Net Zero: Empowering Climate Mitigation by Linking to Development Goals” dikeluarkan oleh lembaga think tank iklim dan energi terkemuka di Indonesia, Filipina, Thailand dan Vietnam, yang didukung oleh NewClimate Institute dan Agora Energiewende sebagai bagian dari proyek CASE.
Laporan tersebut memberikan perspektif baru tentang diskusi iklim dunia yang kritis dengan menyatakan bahwa rencana iklim negara dapat diimplementasikan dengan cara yang lebih efektif, tepat waktu, dan berkelanjutan jika diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan mereka secara keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan warga negara. Untuk tujuan ini, laporan tersebut mengidentifikasi enam ‘konsep penghubung’ dan faktor pendukung yang relevan dengan Asia Tenggara dan upaya-upaya net-zero-nya, sambil merinci potensi mereka untuk mempercepat transisi menuju ekonomi nasional yang tangguh.
Laporan ini berargumen soal pentingnya “Melampaui Net Zero”. Hal ini untuk memastikan negara-negara mencapai rencana iklim yang seimbang dan saling melengkapi terutama dalam memenuhi kebutuhan pembangunan nasional mereka, sekaligus mempercepat dekarbonisasi sektor energi dan ekonomi.
“Jika publik tidak dapat mengidentifikasi tujuan pembangunan yang muncul dari strategi iklim pemerintah mereka, konsensus politik yang diperlukan untuk membuat keputusan yang semakin sulit akan sulit dicapai atau jika direalisasikan, akan sulit dipertahankan,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif di Institute for Essential Services Reform (IESR) di Indonesia, sebagai salah satu organisasi yang terlibat dalam pembuatan laporan.
Laporan tersebut menunjukkan tindakan ambisius dan signifikan yang diambil oleh sejumlah pemerintah di Asia Tenggara guna membatasi persetujuan pembangkit listrik tenaga batubara di masa depan. Misalnya, pada Oktober 2020, Filipina menjadi negara pertama di kawasan yang mengumumkan moratorium batubara greenfield. Indonesia menetapkan keputusan moratoriumnya sendiri pada 2021, sementara pemerintah sekarang tengah berdialog soal penghentian awal pembangkit listrik tenaga batubara.
“Sebenarnya, keputusan untuk memberlakukan moratorium batubara di Filipina didasarkan pada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan fleksibilitas, keandalan, dan keberlanjutan sistem tenaga listrik Filipina,” kata Red Constantino, Direktur Eksekutif Institute for Climate and Sustainable Cities, sebuah kelompok kebijakan iklim internasional yang berbasis di Filipina.
“Keputusan tersebut merupakan pengakuan yang disambut baik bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara baru di Filipina yang akan semakin mengacaukan dampak sistem tenaga listrik. Hal ini (terjadi) mengingat kelebihan kapasitas teknologi yang tidak fleksibel di negara itu, di mana sebagian besar terdiri dari pembangkit listrik tenaga batubara.”
Sementara penelitian di Vietnam menemukan bukti bahwa pembangkit listrik tenaga batubara yang dijadwalkan beroperasi di bawah rancangan Rencana Pengembangan Tenaga (ketenagalistrikan) Vietnam 2021–2030 dapat memicu sekitar 1.500 kematian dini dan menelan biaya hingga $270 juta per tahun untuk ongkos kesehatan dan kesejahteraan. Di Indonesia, emisi sektor transportasi diperkirakan menyebabkan sekitar 7.000 kematian dini setiap tahun, dengan biaya terkait sebesar $4,2 miliar.
“Kami percaya akan sangat membantu untuk menekankan manfaat bersama antara pembangunan berkelanjutan dan kebijakan iklim, dan bahwa ini akan memberikan pembenaran dan dukungan untuk aksi iklim yang lebih ambisius,” kata Nhien Ngo, Direktur Eksekutif Inisiatif Vietnam untuk Transisi Energi (VIET), salah satu organisasi yang bekerja sama dalam pengembangan laporan.
Laporan tersebut juga mengidentifikasi peran kunci yang dapat dilakukan oleh komitmen dan tindakan perusahaan di kawasan—menunjukkan berbagai pengumuman oleh perusahaan multinasional dan regional tentang niat mereka untuk mempercepat upaya memasang energi bersih dan mengurangi jejak karbon mereka.
“Menghadapi perhitungan atas kontribusi mereka terhadap keadaan darurat iklim, perusahaan semakin membuat janji atau komitmen iklim, dan ini adalah perkembangan yang disambut baik,” kata Kannika Thampanishvong dari Institut Penelitian Pembangunan Thailand, yang berkontribusi pada laporan tersebut.
Pemerintah, tegas Kannika, harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan perusahaan untuk mencapai komitmen iklim mereka dan tetap kompetitif. Ini termasuk akses ke keuangan dan infrastruktur pendukung. Dengan cara ini, aksi korporasi dapat menjadi katalis terhadap tujuan pembangunan yang lebih besar di kawasan ini.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa pengurangan biaya dalam teknologi bersih yang muncul telah membawa perubahan signifikan menuju pilihan alternatif berkelanjutan seperti energi terbarukan, sistem tenaga yang terdesentralisasi, dan sistem penyimpanan energi (power storage).
Laporan ini juga menekankan pentingnya pengadaan energi terbarukan tanpa karbon sebagai tulang punggung upaya dekarbonisasi ekonomi. Selain itu juga menyoroti peluang bagi negara-negara Asia Tenggara untuk berinvestasi lebih awal dalam elektrifikasi transportasi dan industri untuk mencapai pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
“Wawasan penting dari laporan ini mengemukakan tujuan perubahan iklim tidak dapat dilihat secara terpisah dari pertumbuhan ekonomi,” tambah Jesse Scott, Direktur Program Internasional di Agora Energiewende, sebuah lembaga Think tank di Jerman yang berfokus pada transisi energi, yang ikut menulis laporan tersebut.
Di Asia Tenggara, Scott menambahkan, prioritas politik bagi sebagian besar pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi ketidaksetaraan. Tetapi juga perlu diakui bahwa prioritas ini tidak dapat dicapai tanpa tindakan yang terkoordinasi secara global untuk mengatasi perubahan iklim. Reformasi signifikan dari lanskap keuangan internasional akan diperlukan untuk mengarahkan dan menskalakan volume keuangan internasional yang diperlukan untuk melakukan transformasi energi.
“Dalam laporan ini, yang merupakan ringkasan penelitian dalam kerjasama erat dengan mitra lokal di Asia Tenggara, kami membahas paradigma yang berbeda untuk kerjasama multilateral dalam mengejar net-zero, yang dapat membawa manfaat implementasi upaya global menuju peningkatan suhu yang tidak melebihi 1,5°C,” kata Frauke Roeser, Mitra Pendiri di NewClimate Institute.
Laporan ini diluncurkan pada akhir pertemuan COP 26 di Glasgow. Peluncuran bersamaan dengan fakta hampir 200 negara mencapai kesepakatan yang lemah dalam mengintensifkan upaya global memerangi perubahan iklim. Laporan juga menyerukan negara global untuk kembali tahun depan dengan target pengurangan emisi yang lebih nyata dan kuat, serta berjanji menggandakan anggaran yang tersedia demi membantu negara-negara mengatasi dampak pemanasan global. Pada akhirnya, laporan menyerukan tindakan segera dan menghubungkan perencanaan iklim dengan prioritas pembangunan nasional untuk membangun dan memperluas dukungan politik.
Tulisan ini merupakan pers rilis yang diluncurkan Eksekutif di Institute for Essential Services Reform (IESR) setalah dilakukan penyuntingan.